Pendidikan dan Kebudayaan Ajip Rosidi PENDIDIKAN, baik formal maupun nonformal, adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan. Setiap masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada generasi yang lebih kemudian agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan berkembang, melalui pendidikan. SUDAH lama banyak orang mempertanyakan pendidikan kita, mengapa hasilnya tidak memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri? Mengapa bangsa kita mudah larut dalam pengaruh budaya yang datang dari luar? Mengapa budaya asli kita tidak dapat menahan banjir bandang globalisasi yang datang? Pendidikan kita selama ini menjadi sarana pewarisan budaya atau tidak? BILA menengok sejarah, kita akan melihat, sebagai bangsa jajahan sejak tiga-empat abad terakhir, budaya kita adalah budaya bawahan yang menganggap budaya bangsa yang menjadi tuan penjajah sebagai cermin keunggulan. Hal itu menumbuhkan mentalitas bangsa jajahan, yang selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan kaki penguasanya. Dalam masyarakat demikian, orang pribumi dianggap sebagai keset sepatu tuan penjajah. Sebagai penjajah, Belanda tidak langsung memeras bangsa pribumi. Mereka menggunakan para pemimpin tradisional pribumi sebagai alatnya. Dan, para pemimpin tradisional pribumi, yang secara turun-temurun selalu menikmati kedudukan sebagai elite penguasa priayi yang selalu ongkang-ongkang menikmati hasil kerja keras rakyat petani dan nelayan, menerima peran yang diberikan tuan penjajah dengan suka hati. Mereka mendapat gaji dan persentase keuntungan dari harga hasil bumi yang dipaksa ditanam petani dan harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pembeli. Sebagai produsen, petani kita tak berdaya menghadapi pembeli karena yang dihadapi adalah penguasanya sendiri. Sebagai rakyat kerajaan yang selalu patuh kepada raja, para petani menganggap jangankan hasil kerjanya, nyawa dan keluarganya pun milik sang raja. Dalam hal ini kita melihat, mentalitas elite penguasa pribumi itulah yang menyebabkan rakyat kita sengsara dalam kemiskinan luar biasa meski bekerja amat keras, sedangkan tuan penjajah Belanda menangguk keuntungan ratusan juta gulden tiap tahun untuk kemakmuran negaranya yang jauh di benua utara. Yaitu mentalitas calo, broker, yang ingin hidup senang tanpa mengeluarkan keringat. Untuk memperkuat pengaruhnya terhadap rakyat petani yang diperasnya, mereka mengangkat tukang-tukang pukul sebagai kaki tangannya. Para petani yang tidak patuh atau memperlihatkan gejala akan melawan dihadapi dengan kasar dan kejam oleh para tukang pukul itu. Bila para tukang pukul tidak mampu lagi, serdadu marsose dikerahkan. Itulah yang terjadi di Banten pada tahun 1888, terjadi di Jatitujuh dan daerah lain di Cirebon pada sekitar 1815, di Cimareme, Garut, pada tahun 1918, dan lain-lain. Pemberontakan petani di Jawa, yang kerap terjadi pada abad ke-19 dan ke-20, mempunyai pola yang sama: para petani merasa tidak puas dengan ketentuan yang dikenakan terhadap mereka, mereka mengajukan usul, lalu protes, dan karena tidak digubris, mereka melawan. Bila sudah memberontak, mereka dihadapi tentara profesional penjajah yang mempunyai senjata jauh lebih canggih. Pemberontakan seperti itu selalu berakhir dengan ditindasnya petani-bukan hanya yang memberontak, tetapi juga mereka yang dianggap bersimpati kepada pemberontak atau mempunyai hubungan darah dengan mereka. Praktik demikian kita saksikan pula pada masa Orde Baru. Para petani Banjaran (Majalengka), yang sawahnya tercemar limbah pabrik baterai yang didirikan di sana, setelah melakukan protes tak digubris pemerintah daerah, lalu membakar pabrik itu. Mereka ditangkap dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Para petani di Cimacan (Cianjur) juga ditangkapi dan diajukan ke pengadilan karena protes mempertahankan tanah yang sudah digarapnya puluhan tahun, yang oleh pemerintah daerah hendak dijadikan lapangan golf. Dalam sejarah, kita tidak melihat ada-kalaupun ada jarang sekali-pembesar pribumi yang dalam situasi demikian membela rakyatnya. Karena itu, perbuatan Bupati Sumedang Pangeran Koesoemadinata dianggap gagah berani dan heroik karena berani menyodorkan tangan kiri saat diajak bersalaman oleh Gubernur Jenderal Daendels yang tersohor galak. Dilihatnya Gubernur Jenderal hendak menyalahkan rakyatnya yang dikerahkan kerja paksa secara cuma-cuma membangun jalan di tempat yang kini bernama Cadas Pangeran. Pangeran Koesoemadinata tidak membiarkan rakyatnya dipersalahkan dalam pembuatan jalan itu karena medan yang dihadapi luar biasa berat. Namun, sebenarnya, dia pun tidak membela rakyatnya yang dikerahkan kerja paksa tanpa dibayar, mungkin karena dianggapnya hal itu sudah sewajarnya demikian. Peristiwa di Istana Bogor saat sejenak Inggris menguasai Hindia Belanda dan Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto berkunjung ke Jawa-saat Pangeran Koesoemadinata menyatakan dengan berani dan terus terang kepatuhan dan kesetiaannya kepada majikannya yang lama, yaitu Pemerintah Hindia Belanda yang dikalahkan Inggris-menunjukkan bahwa pada dasarnya ia sama saja dengan kaum elite priayi lain yang tidak mempunyai perspektif pandangan sejarah dan sosial yang luas. Kelebihannya, ia mempunyai kekuatan moral yang lebih baik daripada, misalnya, Bupati Garut Moesa Kartalegawa saat menghadapi peristiwa Cimareme. PANDANGAN masyarakat kita saat itu adalah feodalistis. Feodalisme di Eropa dikuasai kaum feodal, yaitu mereka yang memiliki tanah yang dikerjakan para petani. Para petani di wilayah tertentu, misalnya di Rusia, dianggap sebagai hamba sahaya yang bekerja untuk dan semua hasil pekerjaannya menjadi hak majikan. Akan tetapi, kaum feodal di Jawa-terutama setelah penjajahan Belanda-tidak selalu berarti pemilik tanah. Hidup mereka digaji Pemerintah Hindia Belanda, ditambah pendapatan dari persentase hasil tanaman rakyat yang dibeli pemerintah dengan harga rendah sekali. Artinya, mereka bukan orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam komunitasnya karena mereka hanya pegawai dari pemerintah yang mewakili kepentingan bangsa asing. Karena itu, mentalitas mereka adalah mentalitas calo, broker. Nilai-nilai kesatriaan yang membela kebenaran dan melindungi rakyat kecil dan sering dipuji-puji sebagai pegangan para priayi kita hanya ada dalam teks. Maka, nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi yang lebih muda pun dari kebudayaan feodal yang bermentalitas calo. Status quo yang tertib dipertahankan dengan ajaran yang, misalnya, dirumuskan dalam peribahasa, "Guru, ratu wong atuo karo, wajib sinembah," yang berasal dari Jawa, tetapi kemudian dipopulerkan melalui sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda di seluruh Tatar Sunda. Maksud peribahasa itu ialah setiap orang (rakyat) wajib menghormati guru, ratu, dan orang tua. "Guru" yang tadinya mungkin mempunyai arti pendeta, kiai, empu, dibumikan menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda yang tugasnya berdiri di depan kelas mengajar murid. "Ratu" adalah Raja Belanda yang diwakili pejabat yang menjadi kaum priayi. Jelas peribahasa itu hendak mempertahankan ketenteraman masyarakat melalui lembaga "guru" (yang memberi bimbingan ilmu) dan "ratu" (yang mengatur pemerintahan), sedangkan "orang tua" menjadi bantal paling akhir. Tak pernah ada gugatan dari pihak ulama Islam yang, misalnya, mempersoalkan mengapa "guru" dan "ratu" yang disebut dahulu baru "orang tua", padahal ada hadis yang jelas menyatakan, orang yang harus dihormati itu pertama-tama ibu (3 kali) dan baru ayah. "Guru" dan "ratu" tak disebut. Tentu bukan hanya peribahasa itu yang ditanamkan untuk menjaga ketenteraman "orde" (ketertiban) masyarakat kolonial feodal itu. Contoh lain mudah diperoleh dalam kumpulan peribahasa bahasa-bahasa daerah dan Melayu. NILAI-nilai yang ditanamkan dan diwariskan oleh orang-orang tua itu adalah nilai-nilai yang cocok dengan ajaran feodal yang menunjang kepentingan dan kelestarian penjajahan. Ajaran itu disebarkan secara lebih intensif melalui sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda. Adapun sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda ada beberapa macam: Pertama, sekolah untuk orang Belanda (Eropa) atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, seperti ELS, HIS, MULO, AMS, dan HBS. Di sekolah ini, sejak dini para siswa diperkenalkan dengan sumber budaya Belanda (Eropa), yaitu budaya Yunani dan di tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (AMS dan HBS) mereka belajar bahasa Latin, sedangkan sebelumnya mereka sudah diperkenalkan dengan mitologi dan drama-drama Yunani. Mereka juga diharuskan membaca buku-buku karya sastra klasik dan modern, bukan saja dalam bahasa Belanda, tetapi juga dalam bahasa modern Eropa lain, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Dengan demikian, para siswa mengenal betul sumber budaya Eropa dan kekayaan rohani budaya Eropa modern seperti tampak dalam karya-karya tulisnya (tidak hanya karya sastra). Dengan demikian, tamatan sekolah lanjutan tingkat atas (AMS dan HBS) sudah menguasai dengan baik sumber-sumber budaya Barat. Kedua, sekolah untuk orang asing Timur, seperti Tionghoa, India, dan Arab, seperti HCS (Holands Chineesche School) yang selain menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar juga mengajarkan bahasa China secara intensif. Para siswa pun mempelajari sumber budayanya, yaitu sumber budaya China. Mereka belajar bahasa China dan membaca karya-karyanya dalam bahasa itu sehingga mereka mengenal dengan baik karya-karya budaya klasik China. Ketiga, sekolah untuk orang pribumi, seperti sekolah desa tiga tahun, Sekolah Angka II (lima kemudian enam tahun), sekolah sambungan (schakel school), sekolah guru (normaal school) yang menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah atau bahasa Melayu. Sekolah-sekolah pribumi ini didirikan Pemerintah Hindia Belanda terutama untuk mencukupi kebutuhannya akan tenaga-tenaga administrasi murahan dalam rangka eksploitasi kolonialnya. Karena itu, pelajaran yang diajarkan di sini amat sederhana, yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Dalam kurikulumnya, tak ada pelajaran tentang kekayaan budaya yang menjadi sumber hidup dan masyarakatnya. Untuk mereka disediakan buku-buku terbitan Balai Pustaka dalam perpustakaannya. Namun, meski buku-buku terbitan Volkslectuur, yang kemudian menjadi Balai Pustaka, itu semula saduran dari naskah-naskah kuno Nusantara, yang kemudian diterbitkan kebanyakan buku-buku terjemahan atau saduran dari bahasa Belanda. Dengan demikian, para siswa yang belajar di sekolah-sekolah pribumi tidak dianggap perlu mengenal dan mengetahui sumber budaya warisan leluhurnya sendiri. Malangnya, ketika Indonesia merdeka, yang dilanjutkan Pemerintah Republik Indonesia (RI) adalah jenis sekolah untuk kaum pribumi, bukan model sekolah untuk orang Belanda atau Eropa. Mungkin karena semangat zaman yang serba anti- penjajahan Barat, kebudayaan Barat dengan serta-merta dikutuk dan diharamkan orang. MEMANG bukan ELS, HIS, MULO, AMS, atau HBS yang harus dilanjutkan pendidikan RI, tetapi model sekolah itu telah terbukti amat efisien dan efektif menjadi wadah pewarisan budaya yang menjadi sumbernya. Modelnya sama, tetapi isinya harus disesuaikan dengan sumber budaya kita sendiri. Pemerintah RI melanjutkan model sekolah untuk pribumi, yang dalam kurikulumnya ditambah sejarah nasional, ilmu bumi nasional, dan pelajaran berbagai ilmu yang dianggap perlu. Akan tetapi, tidak ada pelajaran yang menyebabkan si siswa mengenal sumber budayanya. Tidak ada yang menganggap perlu, anak didik yang akan menjadi pewaris negara dan bangsa Indonesia mengenal dengan baik sumber budayanya. Dengan demikian, anak-anak Jawa terputus dengan sumber budaya Jawa, anak-anak Sunda terputus dengan sumber budaya Sunda, anak-anak Bugis terputus dengan sumber budaya Bugis, anak-anak Aceh terputus dengan sumber budaya Aceh, dan seterusnya. Memang ada pelajaran tentang Pancasila yang dianggap hasil galian dari bumi sendiri sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tetapi isinya lebih merupakan indoktrinasi dan hafalan. Maka, kini setelah hampir 60 tahun Indonesia merdeka, kita tiba-tiba terpukau melihat anak-anak bangsa kita tidak mengenal kekayaan budaya nenek moyangnya. Padahal kita selalu membanggakan diri dan menggembar-gemborkan kekayaan ragam budaya tradisi kita. Kita memasukkan segala macam pelajaran untuk dimamah oleh anak didik sehingga berlebihan, tetapi mengenai sumber budayanya amat minim. Baru beberapa belas tahun terakhir ada pelajaran muatan lokal yang biasanya digunakan untuk memperkenalkan kesenian dan bahasa daerah setempat kepada anak didik, tetapi kedudukannya dalam kurikulum tidak termasuk penting. Bahasa Inggris dianggap jauh lebih penting. Menurut hemat saya, masalah ini amat penting demi kelangsungan kita sebagai bangsa mandiri sehingga perlu mendapat perhatian bukan saja dari para teknokrat pendidikan dan para ahli kurikulum, tetapi juga dari semua ahli di bidang kemasyarakatan lainnya. Enam puluh tahun terlambat tidak apa kalau masih dapat segera diperbaiki. Ajip Rosidi Pensiunan; Tinggal di Desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar