1.Artikel Islam
Kafir Quraisy Rajin Beribadah
Anda tidak perlu merasa heran, karena inilah realita. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah menceritakan bahwasanya kaum musyrikin yang dihadapi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin beribadah. Mereka juga menunaikan ibadah haji, bersedekah dan bahkan banyak berdzikir kepada Allah. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik juga berhaji dan melakukan thowaf adalah dalil berikut.
Dan telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abdul ‘Azhim Al Anbari telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Yamami telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan kepada kami Abu Zumail dari Ibnu Abbas ia berkata; Dulu orang-orang musyrik mengatakan; “LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. (HR. Muslim no. 1185)
Mengomentari pernyataan Syaikh Muhammad At Tamimi di atas, Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum yang beribadah kepada Allah, akan tetapi ibadah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka karena ibadah yang mereka lakukan itu tercampuri dengan syirik akbar. Sama saja apakah sesuatu yang diibadahi disamping Allah itu berupa patung, orang shalih, Nabi, atau bahkan malaikat. Dan sama saja apakah tujuan pelakunya adalah demi mengangkat sosok-sosok tersebut sebagai sekutu Allah atau bukan, karena hakikat perbuatan mereka adalah syirik. Demikian pula apabila niatnya hanya sekedar menjadikan sosok-sosok itu sebagai perantara ibadah dan penambah kedekatan diri kepada Allah. Maka hal itu pun dihukumi syirik (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Dua Pelajaran Berharga
Dari sepenggal kisah di atas maka ada dua buah pelajaran berharga yang bisa dipetik.
Pertama; pengakuan seseorang bahwa hanya Allah lah pencipta, pemberi rezki dan pengatur segala urusan tidaklah cukup untuk membuat dirinya termasuk dalam golongan pemeluk agama Islam. Sehingga sekedar mengakui bahwasanya Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur belum bisa menjamin terjaganya darah dan hartanya. Bahkan sekedar meyakini hal itu belum bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan Allah.
Kedua; apabila peribadatan kepada Allah disusupi dengan kesyirikan maka hal itu akan menghancurkan ibadah tersebut. Oleh sebab itu ibadah tidak dianggap sah apabila tidak dilandasi dengan tauhid/ikhlas (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Dengan demikian sungguh keliru anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwasanya tauhid itu cukup dengan mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Dan dengan modal anggapan yang terlanjur salah ini maka merekapun bersusah payah untuk mengajak manusia mengenali bukti-bukti alam tentang keberadaan dan keesaan wujud-Nya dan justru mengabaikan hakikat tauhid yang sebenarnya. Atau yang mengatakan bahwa selama orang itu masih mengucapkan syahadat maka tidak ada sesuatupun yang bisa membatalkan keislamannya. Atau yang membenarkan berbagai macam praktek kesyirikan dengan dalih hal itu dia lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Atau yang mengatakan bahwa para wali yang sudah meninggal itu sekedar perantara untuk bisa mendekatkan diri mereka yang penuh dosa kepada Allah yang Maha Suci. Lihatlah kebanyakan praktek kesyirikan yang merebak di tengah-tengah masyarakat Islam sekarang ini, maka niscaya alasan-alasan semacam ini -yang rapuh serapuh sarang laba-laba- yang mereka lontarkan demi melapangkan jalan mereka untuk melestarikan tradisi dan ritual-ritual syirik.
‘Kita ‘Kan Tidak Sebodoh Kafir Quraisy’
Barangkali masih ada orang yang bersikeras mengatakan,“Jangan samakan kamidengan kaum kafir Qurasiy. Sebab kami ini beragama Islam, kami cinta Islam, kami cinta Nabi, dan kami senantiasa meyakini Allah lah penguasa jagad raya ini, tidak sebagaimana mereka yang bodoh dan dungu itu!” Allahu akbar, hendaknya kita tidak terburu-buru menilai orang lain bodoh dan dungu sementara kita belum memahami keadaan mereka. Saudaraku, cermatilah firman Allah ta’ala,
“Katakanlah; ‘Milik siapakah bumi beserta seluruh isinya, jika kalian mengetahui ?’ Maka niscaya mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’. Katakanlah,’Lalu tidakkah kalian mengambil pelajaran ?’ Dan tanyakanlah; ‘Siapakah Rabb penguasa langit yang tujuh dan pemilik Arsy yang agung ?’ Niscaya mereka menjawab,’Semuanya adalah milik Allah’ Katakanlah,’Tidakkah kalian mau bertakwa’ Dan tanyakanlah,’Siapakah Dzat yang di tangannya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia lah yang Maha melindungi dan tidak ada yang sanggup melindungi diri dari azab-Nya, jika kalian mengetahui ?’ Maka pastilah mereka menjawab, ‘Semuanya adalah kuasa Allah’ Katakanlah,’Lantas dari jalan manakah kalian ditipu?.’” (QS. Al-Mu’minuun: 84-89)
Nah, ayat-ayat di atas demikian gamblang menceritakan kepada kita tentang realita yang terjadi pada kaum musyrikin Quraisy dahulu. Meyakini tauhid rububiyah tanpa disertai dengan tauhid uluhiyah tidak ada artinya. Maka sungguh mengherankan apabila ternyata masih ada orang-orang yang mengaku Islam, rajin shalat, rajin puasa, rajin naik haji akan tetapi mereka justru berdoa kepada Husain, Badawi, Abdul Qadir Al-Jailani. Maka sebenarnya apa yang mereka lakukan itu sama dengan perilaku kaum musyrikin Quraisy yang berdoa kepada Laata, ‘Uzza dan Manat. Mereka pun sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka minta adalah sekedar pemberi syafaat dan perantara menuju Allah. Dan mereka juga sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka jadikan perantara itu bukanlah pencipta, penguasa jagad raya dan pemeliharanya. Sungguh persis kesyirikan hari ini dengan masa silam. Sebagian orang mungkin berkomentar, “Akan tetapi mereka ini ‘kan kaum muslimin” Syaikh Shalih Al-Fauzan menjawab,“Maka kalau dengan perilaku seperti itu mereka masih layak disebut muslim, lantas mengapa orang-orang kafir Quraisy tidak kita sebut sebagai muslim juga ?! Orang yang berpendapat semacam itu tidak memiliki pemahaman ilmu tauhid dan tidak punya ilmu sedikitpun, karena sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti hakikat tauhid” (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi dan Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar